Saya sudah banyak melihat teman-teman saya meninggal
dunia lebih dulu dari saya. Hampir semua matinya jelek. Karena banyak dosa
rupanya. Saya pun banyak dosa. Dan saya takut mati jelek. Saya selidiki
bagaimana caranya agar dengan mudah hapus dosa saya dalam Al-Quran dan
Al-Hadist. Dapat ampunan dan saya bisa mati tersenyum—Obrolan Bung Karno dengan Prof. Kadirun Yahya (Juli 1965).
Rasanya muncul gelegak debar jantung. Bulu kudu
yang segera saja merinding. Begitulah ketika saya secara perlahan dan berusaha
lebih cermat membaca selaman kisah antara Bung Karno dengan Prof. Kadirun yang
disampaikan Didiek S. Hargono dalam catatan Facebooknya.
Lebih sepuluh kali saya membacanya berulang, agar
memperoleh resapan makna dan pesan terdalam di setiap detil cerita tersebut. Sebagai
seorang pemimpin besar dan Presiden Pertama Negara Kesatuan Repukblik Indonesia
(NKRI), sudah pasti banyak kegundahan dan sejumlah pertanyaan yang hadir dalam
benak sang bung itu.
Terlebih, dialah sang pembawa komando utama dalam
rangka mendirikan NKRI. Merebut kemerdekaan dan memperjuangkan habis-habisan
agar Republik berdiri sampai final, tidak pelak banyak tindakan yang mungkin bagi
Bung Karno tidak akan lepas dari sejumlah kesalahan-kesalahan yang ia perbuat,
baik yang dilakukan secara sengaja maupun secara tidak disengaja.
Sungguh luar biasa. Tidak banyak sosok-sosok
pemimpin yang mau menyimpan kerendahan hati dan mau menurunkan egonya
sedemikian rupa sebagaimana yang ditampakkan oleh Bung Karno. Dia mau mengakui
dirinya sebagai pemimpin pastilah banyak kekeliruan dan dosa-dosa di dalam
memegang dalam menjalankan amanah kepemimpinannya tersebut.
Karena itu, dengan perasaan dan kesadaran bahwa pastilah
sudah sedemikian banyak dosa dan kesalahan yang mungkin telah dilakukannya
selama menjadi pemimpin, Bung Karno selanjutnya banyak mengajak para ulama
berdialog soal-soal keagamaan, terutama yang terkait cara mengakhiri hidupnya
dengan khusnul khotimah. Cara sambut detik-detik kematian dengan bibir penuh
senyuman lebar.
Selama memimpin bangsa, sebenarnya jika dilacak
dalam perjalanan sejarah kebangsaan NKRI, Bung Karno tidak pernah melepaskan
hubungan yang baik dengan para ulama. Ia sering melibatkan para ulama untuk
memecahkan berbagai problem-problem kebangsaan.
Bahkan, beberapa perkataan-perkataan mutiara yang
membangkitkan semangat kepahlawanan dan bela tanah air yang diucapkan Bung
Karno, sesungguhnya terinspirasi dan digali dari perjumpaan dan
dialog-dialognya dengan para ulama. Dalam ranah politik dan kebangsaan, ia
tercatat sering berkonsultasi dengan KH. Abdul Wahab dari Pondok Pesantren
Tambak Beras.
Ungkapannya yang sangat menggetarkan, “Beri aku
sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia,” diduga berasal dari KH. Abdul
Wahab. Ia pun dekat dengan KH. Hasyim Asyari, yang memberinya pegangan dan
panduan keagamaan tentang hukum berjuang membela tanah air dari cengkraman
penjajahan negara-negara asing. Tentunya, ulama-ulama lain pastinya sering
diajaknya terlibat diskusi nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai keagamaan.
Hubungan antara ulama dan umaro yang saling
bertaut tersebut, mengingatkan saya pada para pemimpin besar Islam, seperti
Umar bin Khattab, Harun Ar-Rasyid dan sejumlah pemimpin besar Islam lainnya. Di
mana, mereka kerap melibatkan para ulama dalam proses kebijakan dan urusan
kenegaraan dalam perspektif keagamaan.
Beliau-beliau, bahkan bisa sampai menangis
sesenggukan saat menyimak nasehat-nasehat spritual yang diberikan para ulama
tersebut, terutama jika sudah terkait dengan perilaku dan kebijaksanaan mereka
selama menjalankan kekuasaan.
Ingin Mati Tersenyum
Dalam upaya meraih harapan bisa mati tersenyum,
dan segenap dosa-dosanya bisa tertebus dan diampuni yang Mahakuasa, Bung Karno
bertanya kepada Prof. Kadirun Yahya tentang kisah aneh yang dialami seorang
pelacur yang disebutkan dalam salah satu hadist Nabi Muhammad Saw.
Disebut aneh, karena si pelacur mengapa bisa
masuk surga dan dosa-dosa yang dilakukannya selama ini semuanya diampuni oleh Tuhan,
hanya gara-gara melakukan sedikit kebaikan? Kebaikan yang sedikit tersebut, yaitu karena
ia menolong anjing yang sedang kehausan. Pelacur itu memberinya minuman,
sehingga si anjing pun selamat dari takdir kematian.
“Pertanyaan ini sudah sepuluh tahun. Saya sudah bertanya
kepada sejumlah ulama, sejauh ini belum ada jawaban yang memuaskan saya. Jadi,
kenapa seorang wanita yang berdosa, tetapi dengan sedikit saja jasa, itu pun
pada seekor anjing pula, namun dosa-dosanya dihapus oleh Tuhan? Maka ia pun
menjadi ahli surga? How do you explain it Professor?” kata Bung Karno di
hadapan Prof. Kadirun Yahya.
Prof. Kadirun Yahya tidak langsung menjawab. Ia
diam sebentar. Kemudian ia meminta diberikan kertas tulisan. Berikut saya tulis
penjelasan Prof. Kadirun Yahya, sebagaimana ditulis dalam Facebook Didiek S. Hargono
"Presiden,
U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien
(Presiden, tadi bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, coba kita
lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam 2 menit saja saya coba
memberikan jawabannya dan memuaskan”, katanya.
Keduanya
adalah sama-sama eksakta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor
Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika. Di atas kertas Prof. Kadirun mulai
menuliskan penjelasannya.
10/10 = 1 ;
“Ya” kata Presiden.
10/100 = 1/10 ;
“Ya” kata Presiden.
10/1000` = 1/100 ;
“Ya” kata Presiden.
10/10.000 = 1/1000 ;
“Ya” kata Presiden.
10 / ∞ (tak terhingga) = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
1000.000 … / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0;
“Ya” kata Presiden.
Dosa / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
Nah…” lanjut Prof,
1 x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden
½ x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
1 zarah x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
“Ya” kata Presiden
½ x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
1 zarah x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
“… ini
artinya, sang wanita, walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor
anjing sekalipun, mengkaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha
Akbar...”
"Mengikutsertakan
yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu
menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada
dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh
PAHALA yang Maha Besar itu. 1 zarah x ∞ = ∞ Dan, Dosa / ∞ = 0...
“...Ziedaar
hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya Presiden)” jawab Profesor.
Bung
Karno diam sejenak.
“Geweldig
(hebat)” katanya kemudian. Dan Bung Karno terlihat semakin penasaran. Masih ada
lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?”
katanya.
Profesor
Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa
mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan."
"Lihat
saja, walaupun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio
dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan
suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada
lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika
frekuensi-Nya tidak kita dapati,” jelasnya.
“Bagaimana
agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba
kekurangan ?” tanya Presiden kemudian.
“Melalui
isi dada Rasulullah” jawab Prof.
“Dalam
Hadits Qudsi berbunyi yang artinya : Bahwasanya Al-Quran ini satu ujungnya di
tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia”
(Abi Syuraihil Khuza’ayya r.a), lanjutnya.
Prof
menyambung, “Begitu juga dalam QS.Al-Hijr :29 – Maka setelah Aku sempurnakan
dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud
kepadaNya”.
"Nur
Illahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah
dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya
itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah
SWT", kata Prof.
Prof
melanjutkan, "Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang
satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan
cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai
matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium,
Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!
.... Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat”.
"....
Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah getaran
transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens)", jelas Prof.
Prof
menyimpulkan, "Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang
mendapat Nur Illahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi
Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus
dihubungi."
“Bagaimana
cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya
Presiden.
Prof
menjawab, "Memperbanyak sholawat atas Nabi tentu akan mendapatkan
frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT.
–Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang – (HR. Abu Daud dan An-Nasay).
–Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang – (HR. Abu Daud dan An-Nasay).
Jika
diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih : “Tidak engkau mendapat
frekuensi-Ku tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasul-Ku”.
Sontak
Presiden berdiri. “You are wonderful” teriaknya. Sejurus kemudian, dengan
merangkul kedua tangan profesor, Presidenpun bermohon : “Profesor, doakan saya
supaya dapat mati dengan tersenyum...” katanya.
Menebus Dosa Ala Bung Karno
Nyatanya, jika ditelusuri dari detik-detik akhir
menjelang kematiannya, Bung Karno tampaknya betul-betul mengamalkan apa yang
pernah dijelaskan oleh Prof. Kadirun Yahya.
Terbukti, meskipun masih memiliki kekuatan
melakukan perlawanan ketika dibungkam pak Harto pasca-GS/30, beliau memilih
menaruh senjata. Bahkan, walaupun ia diasingkan dari publik dan keluarganya
sekali pun. Bung Karno tetap kalem. Ia tetap tabah dan istiqamah menerima
segala perih penderitaannya sendirian. Ia memilih merasakan semuanya dengan
hati dan jiwa yang sempurna, hingga ajal menjemput.
Padahal, saat beliau diasingkan
sebagai tahanan rumah, beliau tidak diberi obat tetapi hanya vitamin saja,
tidak dibelikan mesin cuci darah padahal sangat membutuhkan dan negara mampu
beli, serta hanya diberi dokter hewan dan bukan dokter ahli yang sangat banyak
waktu itu
Mungkin bagi Bung Karno, cukuplah baginya
merasakan denyut demi denyut kebahagiaan atas telah bebasnya Rakyat Indonesia dari
rengkuhan penindasan dan kolonialisme penjajahan. Cukuplah baginya, di tengah
kepungan kenistaan dan penderitaannya tersebut, ia merasakan kebahagiaan karena
rakyat sudah berhasil ia redam dari arus peluang akan terjadinya perang
saudara. Dan boleh jadi, beliau berharap pemimpin berikutnya akan lebih baik
dan bisa ngemong raakyatnya.
Ya, mungkin itulah kekuatan kebahagiaan yang
tiada bandingannya bagi si Bung, sehingga ia mampu tegar bertahan dan menerima
segala hal di dalam kubang penderitaan akhir hidup. Makna hidup paling sejati. Dan
cara menghapus dosa, dan bisa tetap tersenyum saat malaikat datang menjemputnya
kembali ke sang Agung, pemilik kehidupan dan jagat semesta raya.
Tulisan ini sepenuhnya digali dari share kisah
Facebook Didiek S. Hargono. Sejumlah kalimat saya edit seperlunya tanpa
mengubah maknanya, agar selaras dengan alur bahasan yang saya tulis. Sila berkunjung
ke kediaman facebook beliau, Didiek S. Hargono.
Catatan Bung Karno Berikutnya:
Catatan Bung Karno Berikutnya: