Pulau Madura adalah di
antara suku di tanah air yang memiliki banyak keunikan, baik dari aspek sejarah,
peradaban, maupun tokoh-tokoh yang hidup di dalamnya. Yang kontroversial,
berasal dari manakah orang Madura? Siapa manusia pertama kali yang menetap di
sana? Benarkah mereka merantau karena alasan tanahnya yang tandus dan tak bisa
menghasilkan?
Pertanyaan tersebut memiliki
daya tarik tersendiri bagi banyak orang. Lebih-lebih, meski letak pulau
Madura sangat kecil dan termasuk bagian
dari kawaasan tanah Jawa, orang-orang di dalamnya cukup berbeda dari orang
Jawa. Bukan hanya secara bahasa, maupun budayanya, tetapi juga soal cara sikap
dan berkomunikasinya yang bertolak-belakang dengan orang Jawa.
Orang Madura terkenal dengan
sikap kerasnya. Bahkan, secara ekstrem mereka dianggap memiliki perilaku yang
kasar dan mau menang sendiri. Betulkah demikian? Sebenarnya, persepsi tersebut
tak selamanya benar. Bahkan, sangat keliru.
Orang Madura sejatinya sangat
ramah dan sangat peduli dan penuh penghormatan kepada sesama meski berbeda
suku, etnis dan agamanya. Yang tak banyak orang tahu, di setiap daerah di
Madura pasti berdiri pondok pesantren. Di setiap desa pasti ada masjidnya. Dan di masing-masing rumah penduduknya pasti
ada musallanya. Karena itu, hampir rata-rata orang Madura adalah santri,
sehingga kesadaran keagamaannya sangat kuat.
Yang perlu diketahui, orang
Madura bukannya memiliki sikap kasar. Hanya saja mereka memiliki cara sikap dan
cara berkomunikasi yang bertolak belakang dengan suku lainnya, terutama dengan
suku Jawa. Orang Jawa sangat mengedepankan sikap yang halus untuk menjaga
perasaan lawan bicara, sedang orang Madura cenderung terbuka (spontan) dan
tanpa basa-basi.
Cara mereflesikan sikap
inilah yang seringkali menebar masalah tak perlu. Suara orang Madura yang
lantang, kerap dikira mau mengajak perang (hehe). Wajar, selain banyak yang
hidup di pesisir yang agak kedap suara sehingga perlu suara lebih keras, jumlah
penduduknya juga lebih lengang dari Jawa. Orang Madura akhirnya terbiasa
bersuara keras karena sering suaranya tak kedengaran karena posisi rumah yang
berjauhan. Di Jawa, jarak antar rumah sangat rapat, saking padatnya jumlah
penduduk.
Orang Madura senangnya
langsung pada poin masalah, sedang orang Jawa maunya basa-basi dulu sebelum
sampai pada inti masalah. Bagi orang Madura sikap seperti ini membosankan
karena seperti berbelit-belit. Wajar mereka jadi bosan menunggu.
Pengalaman saya di selama
merantau di Jawa, jelas perbedaan ini sering mencetuskan masalah khas
tersendiri dalam bergaul. Namun lambat-laut seiring waktu, persaudaraan malah
semakin erat, ketika masing-masing dari kami mengetahui akar masalahnya. Kami
justru menemukan kejenakaan sikap kami masing-masing. Bagi teman-teman Jawa,
kami dianggap sangat lucu saat bicara. Sering sebelum selesai semua kata,
mereka sudah terbahak duluan.
Selanjutnya, saya mulai
ketemu saudara-saudara lain yang non-Jawa, seperti Medan, Kalimantan, atau
Sumatera dan suku-suku lainnya. Masing-masing suku ternyata menyimpan sisi
keunikan tersendiri. Begitu kami berkumpul dalam satu perbincangan, rasanya
kami seperti berada dalam perbedaan yang tajam satu sama lain di awal
perjumpaan.
Tetapi selanjutnya,
perbedaan tersebut justru menjadi keunikan yang semakin mempererat
persaudaraan. Kami seakan menjadi kumpulan manusia yang susah stress, karena
terhibur oleh keunikan-keunikan yang kami miliki.
Untuk mengenali lebih jauh
tentang sikap khas Madura, bisa ditelusuri dari falsafah yang membangun cara
pandang mereka melihat dan menyikapi hidup. Orang Madura sangat dipengaruhi
oleh sensasi dan suasana pesisir dan kondisi daratan yang berbukit-bukit. Tak
ada pegunungan di Madura. Adanya adalah bukit-bukit dan sungai-sungai yang
ukurannya kecil.
Sejak zaman leluhur, orang
Madura sudah suka merantau. Jika orang mengatakan tanah Madura tandus dan
gersang, saya kira tidak selalu benar. Banyak kondisi tanah di Madura yang
subur, meski memang sangat jarang memiliki aliran sungai yang berukur besar. Tetapi
secara kecukupan air, saya kira sama saja dengan daerah lain di luar Madura.
Ada yang tandus, ada juga yang subur. Sama saja sih menurut pengalaman saya.
Spirit merantau menurut saya
bukan semata atas dasar tanah yang sulit ditanami. Akan tetapi, memang sejak
leluhur pertama orang Madura, mereka sudah memiliki cara pandang hidup yang
senang berkelana untuk menambah wawasan, pergaulan dan pengalaman.
Terbukti, sejak zaman Madura
Kuno, orang-orang Madura, nyatanya tak hanya sekedar merantau. Akan tetapi,
juga banyak memberikan sumbangsih besar bagi berlangsungnya peradaban di tanah
Jawa, dan daerah-daerah lain di Nusantara.
Taruhlah misalnya, sejak
manusia pertama Madura, yaitu Raden Segoro.
Perannya sangat besar bagi kerajaan Mataram Kuno, yang membebaskan
kerajaan tersebut dari serangan negeri lain. Raden Arya Wiraraja di era
Kerajaan Singasari-Majapahit. Pangeran Trunojoyo era Mataram Islam. Raja-raja
bergelar Cakraningrat yang sumbangsihnya cukup besar bagi Mataram Islam. Dan
masih banyak lagi, termasuk di era pra-kemerdekaan dan pasca era kemerdekaan.