Tingkat Penggunaan uang tunai di Indonesia masih
cukup tinggi. Padahal, masih besarnya pergerakan uang tunai mengeluarkan biaya
yang cukup besar, yaitu mencapai 3 triliun. Hal ini mulai dari biaya proses
cetak, proses distribusi hingga penghancuran. Karena itu, perlu diadakan
sosialisasi penggunaan banyaknya manfaat penggunaan uang non-tunai ke tengah
masyarakat.
Maka,
dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan uang tunai,
Bank Indonesia (BI) mencanangkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Terlebih,
di tingkat negara-negara di ASEAN, Indonesia termasuk negara yang paling rendah
dalam penggunaan uang non-tunai dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Hal ini dikemukakan oleh Kepala Divisi Kebijakan dan Pengembangan
Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Yura Djalins dalam kampanye GNNT di Perguruan
Tinggi Universitas Airlangga Surabaya, (24/08/2014).
Lebih lanjut ia mengatakan, selain demi menghemat anggaran, uang
non-tunai juga dapat meminimalisir tindak kejahatan maupun tindak pidana
pencucian uang (TPPU). “Sebab penggunaan uang tunai tidak tercatat, karenanya
susah ditelusuri. Ini tentu berbeda dengan uang non-tunai. Semua transaksi
tercatat dengan baik,” katanya dalam acara seminar GNNT di Universitas
Airlangga (UNAIR), Surabaya, Minggu (24/08/2014). Selain itu, jelasnya, manfaat
lain uang non-tunai sifatnya yang praktis sehingga tak perlu membawa banyak
uang tunai, meningkatkan akses masyarakat ke dalam sistem pembayaran sehingga
meningkatkan sirkulasi keuangan dalam perekonomian nasional, dan membantu usaha
pencegahan serta identifikasi tindak kejahatan kriminal.
Namun
demikian, program GNNT tidak lantas menghapus uang tunai. Posisi uang tunai
tetap diperlukan. Hanya saja, porsi penggunaannya saja yang dikurangi. “Penggunaan
uang tunai menjadi sebagai pelengkap dalam aktivitas transaksi di masyarakat,”
tambahnya. Ia lantas menyebutkan presentasi transaksi ritel penggunaan uang
tunai Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN yang paling tinggi, yaitu
sekitar 99,4%. Sebagai perbandingan, di Thailand sekitar 97,2%, Malaysia 92%
dan Singapura 55,5%.
Dengan
alasan tersebut, BI kemudian mencanangkan gerakan GNNT pada 14 Agustus 2014
yang diikuti oleh penandatangan MoU oleh lima lembaga, yaitu Kementerian
Keuangan (Kemenkue), Kementerian Kordinator Ekonomi (Kemenko Ekonomi), APPSI,
dan Pemda DKI Jakarta.
Fokus
di Kampus-Kampus
Untuk
mempercepat proses penciptaan kesadaran pentingnya GNNT di tengah masyarakat,
sebagai tahap awal BI memfokuskan kampanye GNNT di kalangan mahasiswa di tanah
air. Karena itu, BI menggelar GNNT di
beberapa perguruan tinggi secara masif. Khusus wilayah Jawa Timur, BI
menjadikan dua perguruan tinggi sebagai saran percontohan, yaitu Universitas
Airlangga (UNAIR) dan Universitas Surabaya (UBAYA), dengan didiukung oleh 7
bank umum nasional yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Bank Jatim, CIMB Niaga
dan Bank Permata.
Alasan
menjadikan perguruan tinggi sebagai pilihan kampanye GNNT, imbuhnya, karena mahasiwa
merupakan kalangan muda yang mudah ikuti perkembangan, mereka mampu menyebarkan
edukasi kepada lingkungan sekitar. Mereka memiliki kemampuan lebih untuk
memberikan penjelasan yang mudah dimengerti di lingkungan masing-masing.
“Mengubah kebiasaan masyarakat itu tidak gampang. Mahasiswa adalah kalangan
terdidik yang diharapkan mampu menjadi yang mudah diedukasi dan dapat
menularkan pengetahuannya pada lingkungan sekitar termasuk keluarga,” paparnya.
Kalangan
mahasiswa dan segenap akademika, jelasnya, diharapkan menjadi agent of change
untuk mendorong perubahan perilaku dalam bertransaksi, dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi system pembayaran yang saat ini terus berkembang.
Beberapa perguruan tinggi sudah digelar kampanye GNNT, yaitu di 10 wilayah di
Indonesia yaitu Makassar, Banjarmasin, Denpasar, Yogyakarta, Bandung,
Palembang, Padang, Medan, Bogor, dan Surabaya.
“Harus
dipahami, bahwa tantangan terbesar dari peralihan dari uang tunai menuju
penggunaan non-tunai adalah mengubah kebiasaan masyarakat itu sendiri. Itulah
alasan BI giat kampanye uang elektronik di kampus-kampus,” tegasnya.
Pemkot
Surabaya
Dalam
acara yang berlangsung di Surabaya, yaitu kampus UNAIR, BI juga menghadirkan
Walikota Surabaya yang diwakili oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota
(Bappeko) Pemkot Kota Surabaya, Imam Sonhaji. Menurut Sonhaji, Pemerintahan
Kota (Pemkot) Surabaya sudah lama mengalihkan semua proses penggunaan uang
tunai menuju penggunaan uang non-tunai. Tak hanya uang, tetapi juga dokumen,
seperti kontrak kerja sama, dan penggunaan anggaran semuanya menggunakan proses
elektronik.
“Bahkan,
sejak tahun 2014, kita sudah menjalankan penggunaan uang non-tunai pada semua
aspek. Semua proses penganggaran,
pengadaan jasa maupun kontrak, kita sudah elektronik semua,” terangnya. Hal itu
dilakukan Pemkot Kota Surabaya dalam rangka meminimalisir peluang penyimpangan.
Ia mencontohkan seperti ketika bendahara melakukan pembayaran terhadap
kontraktor, yang harusnya senilai sejuta ternyata potensi dikurangi cukup
potensial jika masih menggunakan uang tunai.
“Sebab,
kita menyadari penggunaan uang non-tunai itu memang rawan penyimpangan. Ya kita
memang perlu agak buruk sangka bahwa jika tidak kita awasi bakal muncul proses
penyimpangan,” katanya.