Sejarah orang-orang Madura. Cerita suku Madura. Legenda di Madura. Kebudayaan Madura. Jalan-jalan ke Madura. Raja-raja Madura.

6.06.2015

Warning: Anak Pintar Rentan Gagal!

Jangan bangga dulu, bila anak memiliki prestasi akademik yang tinggi. Tes IQ-nya melejit. Terlebih, maniak baca buku pelajaran. Hal itu bukan sinyal ia bakal sukses. Sebaliknya, ia berpeluang besar gagal dalam menata masa depannya.
Apa pasal? Prestasi akademik hanya berisi soal teori-teori kurikulum di sekolah. Kerja keras menguasainya sepanjang usia anak, hanya membuatnya hapal di luar kepala mata pelajaran di sekolah. Sedangkan konten pelajaran tidak berkaitan dengan prestasi menjalani kehidupan. Dan lebih-lebih, sekolah cenderung mengistimewakan pelajaran-pelajaran tertentu, yaitu anak akan dibilang keren, istimewa, jenius dan berpretasi apabila ia dapat hapal di luar kepala teori-teori pelajaran matematika, fisika, biologi, dan pelajaran lainnya yang sejenis.
Sementara pelajaran lain, seperti sejarah, bahasa, seni-sastra, dan olahraga dianggap pelajaran sambilan yang tak terlalu penting, apalagi istimewa. Semua orang tentu sepakat, akan lebih bangga bila anak menguasai pelajaran matematika atau fisika ketimbang ia jenius di bidang penguasaan sejarah, bahasa, atau seni dan sastra.
Sifat dasar dari fisika dan matematika adalah aspek kemutlakannya. Satu tambah satu sudah pasti dua. Tak ada peluang lain bahwa bisa saja satu-satu bisa berbuah empat, lima dan tujuh. Dalam proses pembentukan cara berpikir, anak kemudian secara tak langsung ditanamkan kebenaran dan jalan menuju kebaikan itu absolut. Mutlak. Semua seragam. Tak boleh ada perbedaan, karena semua sudah baku.
Bandingkan dengan pelajaran bahasa, sejarah atau seni-sastra. Anak dikenalkan adanya banyak bahasa yang berbeda-beda. Tidak seragam. Satu daerah dengan daerah lain bisa berlainan. Dalam pelajaran sejarah pun demikian, setiap daerah dan bangsa memiliki pengalaman sejarah yang berlainan.
Di dalamnya juga terdapat proses sejarah tentang kejayaan dan keruntuhan sebuah bangsa. Sehingga menanamkan tentang nilai sebuah peradaban bisa tegak dan tiba-tiba ia bisa hancur. Pada pelajaran seni dan sastra, konten yang diberikan tentang nilai-nilai rasa dan spiritual. Keindahan di balik sesuatu yang berada di alam sekitar.
Karena itu, juga dikenal pepatah klasik, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Di mana pun kita berada, harus selaras dengan nilai yang kita tempati. Mereka memiliki perbedaan menilai dan menyikapi beberapa masalah, yang barangkali berbeda dengan nilai yang dianut.
Bandingkan dengan pelajaran matematika dan fisika. Kemutlakan rumus adalah ciri khasnya. Di mana pun ia berada, semuanya sama. Seragam. satu tambah satu sudah pasti dua, tak ada peluang kebenaran yang lain. Kebenaran itu adanya hanya saja satu saja. Padahal, kebenaran itu sendiri amat relatif. Satu daerah atau bangsa bisa berbeda satu sama lain.
Anak Pintar Potensi Gagalnya Besar?
13889823901728462271
doc | www.zenius.net
Ulasan ini, berangkat dari penelitian Daniel Goleman. Ilmuwan yang menggemparkan dunia modern dengan teori kecerdasan emosinya (emotional quotient: EQ). Menurut penelitian Goleman, semakin tinggi skor kecerdasan intelektual (intelectual quotientl IQ) anak-anak, ternyata kecerdasan emosinya malah bertambah menurun. Bahkan, sebut Goleman, dalam survei yang dilakukan secara besar-besaran, menemukan fakta bahwa anak-anak generasi zaman sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi sebelumnya.
Anak zaman ini, tegas Goleman, mereka cenderung tumbuh dalam kesepian, depresi, lebih mudah marah, lebih sulit diatur, lebih gugup, mudah cemas, lebih impulsif dan agresif. Juga ditemukan fakta, orang ber-IQ tinggu sering menunjuykkan kinerja yang buruk dalam pekerjaan, malah orang dengan IQ sedang justru sangat berpretasi.
Mengutip hasil studi psikolog University of Vermont, yaitu Dr. Thomas Achenbach, Goleman menyebutkan tanda-tanda paling jelas adalah bertambahnya masalah-masalah kaum muda, seperti putus asa terhadap masa depan, penyalagunaan obat bius, kriminalitas, tindak kekerasan, kehamilan tak diinginkan, kenakalan dan putus sekolah. Kabar buruknya, tanda-tanda ini sudah mendunia di kalangan generasi muda.
Lantas apa alasan IQ tinggi malah berpotensi negatif? Alasan utama yang saya simpulkan secara subjektif, pertama; adalah mengabaikan kecakapan diri secara emosional. Kecakapan emosional yang dimaksud adalah, empati diri, disiplin diri, inisiatif, pengaturan diri dari gejolak diri secara emosional. Sedangkan pada anak dengan IQ tinggi, mereka lebih melatih daya pikir logis dan matematisnya, sedangkan perjalanan kehidupan cenderung memberikan pengalaman yang kadang tak logis dan tak bisa dikalkulasi. Maka, pada saat mengalami kejadian yang membuntukan nalar, mereka jadi lemah dan putus asa.
Kedua, tak semua anak mampu menguasai pelajaran istimewa alaorang modern, seperti matematika dan fisika. Masing-masing anak, seperti diteliti Gardner, memiliki potensi dan bakat yang berlainan. Satu sama lain memiliki potensi yang beragam. Namun dalam sistem sekolah, semua anak diseragamkan. Cara belajarnya, cara berpikirnya, bahkan cara mendapatkan nilai terbaik. Anak yang bakat di bidang bahasa, tentunya dia perlu habis-habisan agar mampu menguasai pelajaran matematika dan fisika. Tak heran, pemegang juara kelas hanya itu-itu saja. Dan siswa yang dianggap bodoh juga yang itu-itu saja.
Ketiga, sekolah tak mengajarkan anak cara menghadapi ujian kehidupan, tetapi memfokuskan mereka menghadapi ujian di atas kertas. Anak dengan nilai ujian kertas yang jelek, maka ia berhak menyandang gelar, anak bodoh, anak bebal, dan seterusnya. Simbol angka merah adalah contohnya, di mana anak dilarang memiliki angka merah dalam tugas-tugasnya. Cap anak bodoh adalah simbol tersirat pelarangan tersebut. Ini juga berarti, sekolah melarang anak gagal sama sekali.
Sedangkan dalam kehidupan nyata, kegagalan adalah bagian dari kondisi yang alamiah. Semua orang pasti dihadapkan pada beberapa kegagalan. Dalam hal ini, yang diperlukan sebenarnya bukan antipati dan melarang gagal, tetapi bagaimana menerima kegagalan dan membuat kerja keras baru demi meraih keberhasilan dengan belajar dari kegagalan sebelumnya.
Dalam pengalaman hidup sehari-hari, sudah bisa ditebak. Banyak anak-anak pintar zaman sekarang memang gampang stres, berduka, galau, gampang berkeluh-kesah ketimbang fokus menemukan solusi, sedikit-sedikit suka main debat asal menang argument, mudah marah, mudah sentimentil hingga mengeluarkan sumpah serapah ketika merasa tersinggung dan pandangannya tak diterima, sulit toleran pada perbedaan pendapat, sukar menerima adanya kenyataan lain yang berbeda, dan lain sebagainya.
Nah, dalam posisi yang demikianlah, anak-anak yang pintar lantas mengalami rentan gagal dalam menapaki masa depan mereka. Sebab, mereka menjadi frontal dan tak mudah menerima keadaan. Karena sulit menerima keadaan, sedangkan yang namanya keadaan tak bisa diganggut-gugat, maka hasilnya adalah kondisi depresi. Dan lari dari masalah, bukan menyambutnya dengan hati terbuka.
Parahnya, saya juga termasuk di dalamnya...(bersambung di lain peluang)
13889824681943180787
doc | vanskoe.blogspot.com
Note: pertama kali ditulis di Kompasiana
Share:

Definition List

Unordered List

Support