Sejarah orang-orang Madura. Cerita suku Madura. Legenda di Madura. Kebudayaan Madura. Jalan-jalan ke Madura. Raja-raja Madura.

1.29.2016

Aku Berpikir maka Aku Menghilang?

Mula-mula diriku meyakini bahwa jika aku berpikir maka aku ada. Namun nyatanya, makin diriku berpikir makin saja diriku tak menemukan apa-apa. Apapun. Hilang semua bentuk. Semua rupa. Semua bahasa. Semua benda-benda.


Siapa aku? Begitulah diriku memulai doa-doa Nabi Descartes itu. Orang-orang memberikan sahutan, dirimu adalah dirimu. Kutanya balik, dirimu yang mana? Mereka kembali menyahut, ya dirimu yang itu. Yang di depanku. Yang sekarang memiliki pertanyaan demi pertanyaan.

Aku bertanya tentang siapa diriku, mengapa engkau lantas menjawab tentang soal dirimu? Aku tak bertanya soal dirimu. Tetapi bertanya soal diriku, siapa diriku? Lalu, siapa juga dirimu? Mengapa engkau berada di hadapan yang disebut dengan diriku ini? orang-orang terdiam. Mereka lanatas memilih membisu. 

Sebelum berlalu, mereka masih sempat menyisakan jejak kata; dia sedang mempertanyakan tentang siapa dirinya. Padahal dia sudah paham seluk-beluk soal itu. Yang lain menimpali, ah barangkali dia memang sejak terlahir sudah tak memiliki sebuah nama.

Oh, mereka malah menempatkan satu pertanyaan lagi, mengatakan bahwa diriku adalah dirinya? Merekalah yang sebenarnya sedang bingung, bukan diriku ini. Diriku hanya bertanya siapa diriku? 

Tetapi bukannya mereka memberikan penjelasan tentang siapa gerangan diriku, malah menjelasakan sesuatu yang lain; tentang dirimu, tentang dirinya. Atau bahkan jika saja aku tanya lagi, orang-orang itu mungkin juga akan berkisah tentang mereka?


Diriku Menghilang?

13867100931509502401
doc--arestakilu.wordpress.com


Bertanya pada orang-orang tak memberikan jawaban yang setimpal. Maka bertanyalah diriku pada diriku sendiri, siapa gerangan diriku ini yang sejati? Aku pun mulai mencoba melakukan penelusuran tentang apa dan siapa gerangan diriku yang sesungguhnya.

Aku lantas memilih menghampiri cermin. Di sana tampillah apa yang orang-orang sebut adalah diriku, dirimu dan juga dirinya. Ada rambut, kepala, bahu, tangan, dan kaki. Sebutlah sederhannya yang dapat kulihat adalah organ-organ tubuh. Maka muncullah bisikan di dalam hatiku, oh jadi yang dimaksud diriku adalah organ-organ tubuh?

Bibirku sunggingkan senyum. Puas mendapatkan jawaban ini. Ringkas, padat dan jelas. Juga mengena. Ya berarti yang dimaksud dengan diriku adalah organ-organ tubuh itu. Hingga kemudian di dalam tempurung kepala, muncul lagi sebuah tanda tanya dadakan.

Lalu, siapa ini gerangan yang bertanya-tanya soal diriku ini? Oh, itu pikiran. Pikiran? Apa itu pikiran? Seperti apa rupa dan bentuknya? Menyahut silbus pertanyaan ini, kembali aku melihat cermin. Tak muncul apapun di sana, apa yang disebut dengan pikiran.

Lalu di mana letak pikiran jika begitu? Apa dia memiliki semacam suara-suara? Jika ia tak memiliki semacam suara-suara, mengapa jelas terdengar di kepalaku yang bergolak dengan ribu pertanyaan?

“Maka bertanyalah engkau pada pihak yang mengatakan aku berpikir maka aku ada. Biar dia sendiri yang menjelaskan. Lebih tepat bukan?” Ah, suara siapa ini yang memberikan pertanyaan terbaru?

Tiba-tiba rupa-rupa diriku seakan menghilang. Aku hanya melihat sebentuk badan yang tersusun dari organ-organ badan. Apa iya itu adalah diriku? Demikian pertanyaan itu mengulang. Mengulang dan mengulang.

“Barangkali kau perlu memasuki ruangan-ruangan lain yang bisa memberimu jawaban-jawaban yang memuaskan,” suara itu kembali mengusukan penawaran. Aku terpaksa mengiyakan.

Sebuah ruangan pun terbuka. Sebuah gerbang lebar terbuka. Tikar-tikar panjang digelar. Beberapa orang duduk dengan lesehan. Beberapa di antaranya memiliki jenggot yang panjang terurai. Putih keemasan. Siapa mereka?

“Duduklah nak. Kami siapa membantu dan urun rembug mengenai soal-soal dari tempurung kepalamu itu. Dengan sepenuh hati...” kata salah seorang dari mereka. Masing-masing dari mereka ternyata membawa sebuah buku tebal. Kumuh dan berdebu. “Maklum. Buku ini sudah lama kami simpan. Jadi berdebu begini rupa...” katanya lagi.

Aku melihat judul-judul buku mereka yang tertera dengan jelas terpapar di mata. Ya baru aku mengenal siapa mereka.

“Aku adalah Karl Marx...” kata salah seorang dari mereka memperkenalkan diri.
“Perkenalkan daku adalah syekh Siti Jenar... “ busyet. Tokoh tanah Jawa juga muncul. Lalu, di sebelahnya lagi menggeser lokasi pantat. Kurasa ia juga pengen mengenalkan diri. Langsung saja kuangkat tangan ke atas.

“Stop dulu tuan-tuan. Sebelum memasuki sesi diskusi, baiknya saya tutup dulu ruangan pikiran saya ini,” kata diriku meminta permohonan. “Mengapa harus begitu?” tanya yang menyebut dirinya Karl Marx.

“Saya belum mengisi modem dengan energi yang powerfull. Jika habis, ya bahaya. Ilmu aji Kompasiana saya bisa padam mendadak. Sementara saya mengisi energi terlebih dahulu ... “ kata diriku dengan wajah memerah memalu.

Para sesepuh itu beruntung cuma manggut-manggut simpul.


1386709936715375820
kakbenny.blogspot.com"
Share:

Definition List

Unordered List

Support