Mula-mula
diriku meyakini bahwa jika aku berpikir maka aku ada. Namun nyatanya,
makin diriku berpikir makin saja diriku tak menemukan apa-apa. Apapun.
Hilang semua bentuk. Semua rupa. Semua bahasa. Semua benda-benda.
Siapa aku? Begitulah diriku memulai doa-doa Nabi Descartes itu. Orang-orang memberikan sahutan, dirimu adalah dirimu. Kutanya balik, dirimu yang mana? Mereka kembali menyahut, ya dirimu yang itu. Yang di depanku. Yang sekarang memiliki pertanyaan demi pertanyaan.
Aku
bertanya tentang siapa diriku, mengapa engkau lantas menjawab tentang
soal dirimu? Aku tak bertanya soal dirimu. Tetapi bertanya soal diriku,
siapa diriku? Lalu, siapa juga dirimu? Mengapa engkau berada di hadapan
yang disebut dengan diriku ini? orang-orang terdiam. Mereka lanatas
memilih membisu.
Sebelum berlalu, mereka masih sempat menyisakan jejak kata; dia sedang mempertanyakan tentang siapa dirinya. Padahal dia sudah paham seluk-beluk soal itu. Yang lain menimpali, ah barangkali dia memang sejak terlahir sudah tak memiliki sebuah nama.
Sebelum berlalu, mereka masih sempat menyisakan jejak kata; dia sedang mempertanyakan tentang siapa dirinya. Padahal dia sudah paham seluk-beluk soal itu. Yang lain menimpali, ah barangkali dia memang sejak terlahir sudah tak memiliki sebuah nama.
Oh,
mereka malah menempatkan satu pertanyaan lagi, mengatakan bahwa diriku
adalah dirinya? Merekalah yang sebenarnya sedang bingung, bukan diriku
ini. Diriku hanya bertanya siapa diriku?
Tetapi bukannya mereka memberikan penjelasan tentang siapa gerangan diriku, malah menjelasakan sesuatu yang lain; tentang dirimu, tentang dirinya. Atau bahkan jika saja aku tanya lagi, orang-orang itu mungkin juga akan berkisah tentang mereka?
Tetapi bukannya mereka memberikan penjelasan tentang siapa gerangan diriku, malah menjelasakan sesuatu yang lain; tentang dirimu, tentang dirinya. Atau bahkan jika saja aku tanya lagi, orang-orang itu mungkin juga akan berkisah tentang mereka?
Diriku Menghilang?
doc--arestakilu.wordpress.com |
Bertanya
pada orang-orang tak memberikan jawaban yang setimpal. Maka bertanyalah
diriku pada diriku sendiri, siapa gerangan diriku ini yang sejati? Aku
pun mulai mencoba melakukan penelusuran tentang apa dan siapa gerangan
diriku yang sesungguhnya.
Aku
lantas memilih menghampiri cermin. Di sana tampillah apa yang
orang-orang sebut adalah diriku, dirimu dan juga dirinya. Ada rambut,
kepala, bahu, tangan, dan kaki. Sebutlah sederhannya yang dapat kulihat
adalah organ-organ tubuh. Maka muncullah bisikan di dalam hatiku, oh
jadi yang dimaksud diriku adalah organ-organ tubuh?
Bibirku
sunggingkan senyum. Puas mendapatkan jawaban ini. Ringkas, padat dan
jelas. Juga mengena. Ya berarti yang dimaksud dengan diriku adalah
organ-organ tubuh itu. Hingga kemudian di dalam tempurung kepala, muncul
lagi sebuah tanda tanya dadakan.
Lalu,
siapa ini gerangan yang bertanya-tanya soal diriku ini? Oh, itu
pikiran. Pikiran? Apa itu pikiran? Seperti apa rupa dan bentuknya?
Menyahut silbus pertanyaan ini, kembali aku melihat cermin. Tak muncul
apapun di sana, apa yang disebut dengan pikiran.
Lalu
di mana letak pikiran jika begitu? Apa dia memiliki semacam
suara-suara? Jika ia tak memiliki semacam suara-suara, mengapa jelas
terdengar di kepalaku yang bergolak dengan ribu pertanyaan?
“Maka
bertanyalah engkau pada pihak yang mengatakan aku berpikir maka aku
ada. Biar dia sendiri yang menjelaskan. Lebih tepat bukan?” Ah, suara
siapa ini yang memberikan pertanyaan terbaru?
Tiba-tiba
rupa-rupa diriku seakan menghilang. Aku hanya melihat sebentuk badan
yang tersusun dari organ-organ badan. Apa iya itu adalah diriku?
Demikian pertanyaan itu mengulang. Mengulang dan mengulang.
“Barangkali
kau perlu memasuki ruangan-ruangan lain yang bisa memberimu
jawaban-jawaban yang memuaskan,” suara itu kembali mengusukan penawaran.
Aku terpaksa mengiyakan.
Sebuah
ruangan pun terbuka. Sebuah gerbang lebar terbuka. Tikar-tikar panjang
digelar. Beberapa orang duduk dengan lesehan. Beberapa di antaranya
memiliki jenggot yang panjang terurai. Putih keemasan. Siapa mereka?
“Duduklah
nak. Kami siapa membantu dan urun rembug mengenai soal-soal dari
tempurung kepalamu itu. Dengan sepenuh hati...” kata salah seorang dari
mereka. Masing-masing dari mereka ternyata membawa sebuah buku tebal.
Kumuh dan berdebu. “Maklum. Buku ini sudah lama kami simpan. Jadi
berdebu begini rupa...” katanya lagi.
Aku melihat judul-judul buku mereka yang tertera dengan jelas terpapar di mata. Ya baru aku mengenal siapa mereka.
“Aku adalah Karl Marx...” kata salah seorang dari mereka memperkenalkan diri.
“Perkenalkan
daku adalah syekh Siti Jenar... “ busyet. Tokoh tanah Jawa juga muncul.
Lalu, di sebelahnya lagi menggeser lokasi pantat. Kurasa ia juga pengen
mengenalkan diri. Langsung saja kuangkat tangan ke atas.
“Stop
dulu tuan-tuan. Sebelum memasuki sesi diskusi, baiknya saya tutup dulu
ruangan pikiran saya ini,” kata diriku meminta permohonan. “Mengapa
harus begitu?” tanya yang menyebut dirinya Karl Marx.
“Saya
belum mengisi modem dengan energi yang powerfull. Jika habis, ya
bahaya. Ilmu aji Kompasiana saya bisa padam mendadak. Sementara saya
mengisi energi terlebih dahulu ... “ kata diriku dengan wajah memerah
memalu.
Para sesepuh itu beruntung cuma manggut-manggut simpul.
kakbenny.blogspot.com" |