Sejarah orang-orang Madura. Cerita suku Madura. Legenda di Madura. Kebudayaan Madura. Jalan-jalan ke Madura. Raja-raja Madura.

2.12.2016

Mari Kudebat Kau! (2)

Sebatang dua batang rokok. Tetap belum mampu mengusaikan jelaga. Tak sampai lima menit, kopi diatas meja sisa ampas. Kembali kupesan secangkir. Sebenarnya, baru kali ini diriku ngopi di warkop. Sebelumnya, diriku hanya ngopi di rumah atau di kantor.
Ah. Lelaki itu.

Mungkin saja ia benar. Aku terlalu sibuk berdebat. Diriku terlalu sibuk dengan segala jubah kebanggaan dan kemenangan kobar-kobar emosiku. Aku lupa bahwa rupanya selama ini diriku hanya sibuk membaca. Sibuk membaca. Dan sibuk membaca. Tanpa ikut merasakan apa sebenarnya makna yang tulisan yang dibaca.

Yang kubaca hanyalah
sekumpulan tulisan. 

Ya hanya sekedar tulisan belaka. Tak lebih. Tulisan itu bilang bahagia, nyatanya hatiku terus bergolak. Tiada ampun. Tulisan itu bilang kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Nyatanya yang kulakukan sejumlah kejelekan. Kejelekan. Dan kejelekan. Tapi bagaimana caranya mampu merasakan makna di dalam tulisan?

Jauh jalan kutelusur. Semakin banyak kumembaca, bukan semakin banyak jawaban yang kudapati. Justru tambah tumpuk-menumpuk sekumpulan pertanyaan. Itu pun tak jua muncul jawaban yang memuaskan. Makin lama, akal dan daya pikir ini menjelma semacam besi yang mulai karatan saja.

Lelaki itu. Akhirnya terpaksa kudatangi.

"Tuhan menyuruh kita berpikir. Tetapi di bagian lain, Tuhan juga memaksa kita pasrah totalitas," tanyaku memulai kegundahan. "Namun, Apa salah sekiranya diriku menggunakan akal-pikirku? Maunya Tuhan sebenarya apa sih?? Kok jadi ribet banget?"
Ia hanya senyum.
"Agar kau mengenal keagungan dan keperkasaanNya. Biar hatimu mengenal dan merasakan indahnya dzikir..."
"Dzikir? Ah, itu sulit kuterima. Bukankah Tuhan sendiri mengatakan ia tak butuh apapun dari hamba? Mengapa masih itung-itungan toh? Pake minta didzikirkan barang???"

Ia terkekeh.

"Bukannya, akalmu sudah buntu? Sudah runtuh? Belum mau menyerah juga? Sampai kapan kau bersikeras menguras kepintaranmu? Sampai habis? Itu kelakuannya Firaun. Tak mau kalah. Akhirnya ia tenggelam di lautan..."

Kutatap ia dalam-dalam. Aku mulai panas dingin. Teganya dia sebut Firaun. Duh, tega, tega. Kuambil sebatang rokok, dan mulai menghisapnya khusyuk. Kurasa aku perlu menyesesuaikan diri dengan sejumlah debar-debar di jantungku.

"Kau tahu?" tanyanya sembari memangku bahuku. "Rasa menangmu, dan rasa hebatmu, itulah lautan. Yang bisa menenggelamkanmu," katanya.

Aku tiba-tiba jadi gugup. Panik. Aku mulai panik. Dengan gugup kembali kuhisap dalam-dalam rokokku. Ada jeda ketenangan muncul.

"Lha terus, terus aku harus bagaimana?"

"Sebenarnya saat akalmu mulai patah. Semua jawaban mulai berasa hambar. Itu saat tepat bagimu belajar merasakan rasa kehambaanmu. Dirimu yang terberai. Dirimu yang betapa tak berdayanya.."

"Ya benar engkau. Kini aku letih dengan emosiku. Letih dengan olah pikirku. Aku... Aku..."

"Ah, sudahlah. Itu bagus.Bersyukurlah. Sebab itu artinya sekarang kau tuntas satu hal. Setelah tuntas berdzikir dengan akalmu, tiba waktunya berdzikir dengan hatimu, pikiranmu, rasamu, juga batinmu..."

"Aku sudah terlalu banyak melukai logika semua orang. Aku ini sudah tak termaafkan.."

"Kau ini. Kegelisahan dan kegalauan tak berujungmu itu, sebenarnya adalah rahmat Tuhan untukmu. Tanda Ia masih sayang padamu. Biar engkau gagal meneladani Firaun.."

Aku menunduk. Kucoba hirup dalam rokokku sebisa mungkin. Oh. Tuhan. Betapa ia benar. Jauh di kedalaman jiwa-ragaku, betapa kumerindukan ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan hati. Hatiku yang terus saja bergolak. Emosiku yang rentan terbakar. Oh Tuhan. Tuhan. Tuhan.

Duh, Tuhan. Gimana ini. Bagaimana ini?

"Kau tak mau menyulut rokokmu itu?" Katanya tiba-tiba. Aku terhenyak. Kuamati rokokku yang kupegang erat. Loh? Jadi sedari tadi sebatang rokok yang kuhirup khusyuk, belum kusulut?

"Korek api itu hanya syariat. Karena sejatinya hati jika sudah menyala, ia sudah tidak ubahnya korek api. Bukankah begitu?"

Tak tahu diriku harus menyahut apa, kecuali hanya memandangnya gembira.

"Kau setuju?" katanya (2016)

MENU DEBAT LAINNYA
Share:

Definition List

Unordered List

Support