Lelaki itu. Menatapnya dalam. Menghembuskan asap rokok,
kemudian tersenyum. Kukumpulkan seluruh logika. Mendebatnya sedemikian rupa.
Banyak pertanyaan yang tak ia jawab. Mungkin dia sudah menyerah kalah. Muncul
rasa bangga di dalam hatiku. Kukira dia orang hebat nan jenius. Oh, ternyata.
"Orang mencari ilmu sebanyak-banyaknya, menurutmu
untuk apa?" tanyanya. Sinis aku tersenyum. Dia berusaha alihkan topik
rupanya.
"Biar pintar, cerdas bin jenius. Pertanyaan remeh
temeh kok ditanyakan, huh!"
"Sekarang engkau sudah pintar bin jenius. Beberapa
pertanyaan gagal kujawab bukan?"
Aku semakin sinis saja tersenyum.
Mataku menyipit. Memandangnya serius. Memang sepele, tapi
mencari jawabannya bikin blank pikiran. Kulihat ia kembali menikmati kepulan
asap rokok yang ia hembus bebas ke udara.
"Apa kau sudah merasa puas dan bahagia selama kau
jalani hidup ini?"
"Dasar. Kau pikir aku hidup menderita apa??"
Ia tertawa terkekeh.
"Aku hanya bertanya. Itu juga tak memerlukan jawaban.
Terkadang, kita perlu sesekali merasakan apa yang pertanyakan. Tanpa perlu
memaksa diri untuk bersikeras berpikir demi menemukan jawabannya..."
"Hei. Pertanyaan itu harus dipikir biar ketemu
jawabannya. Bukan malah dirasa-rasakan segala!"
Ia tertawa terbahak. Kembali ia hisap sebatang rokok dengan
asyik. Aneh. Kami berbincang hampir satu jam, tapi asbak masih bersih. Dan
belum sekalipun rokok itu habis. Kuambil pak rokok di depannya. Masih tersulut
satu batang?
"Rokok ini emang sedari tadi nggak tak sulut
kok..." katanya. Berarti kepulan asap rokok yang kulihat tadi?
"Itulah bedanya antara membaca buku, dan merasakan apa
yang kita baca. Di situ tersimpan makna. Buku itu isinya cuma tulisan. Maknanya
takkan kelihatan..."
"Tak kelihatan?"
"Kau
melihat rokok ini tersulut, karena akalmu tidak jalan. Apa yang dilihat dan
dirasakan jadi berlainan. Tapi kau benar. Aku ini memang sedang merokok, meski
nggak tak sulut. Tetap nikmat...” (2016)